Kesenian asal Hokkian menjadi lebih populer lewat tangan Sukar Mudjiono karena dipentaskan di Klenteng Hok Tek Hian setiap hari. Kesetiannya ini mengilhami pemuda-pemuda lain di kampung Dukuh mengikuti jejaknya. Di lantai dasar Klenteng Dukuh terdapat ruangan tempat pentas dan perlengkapan wayang yang berukuran 4x4 meter yang didirikan tahun 1962. Panggung wayang berukuran 2 kali 90 cm disebut tungil atau paylo. Pada hari-hari biasa biasanya penonton sangat minim, bahkan tidak ada sama sekali. Para pemain wayang potehi (ao tay) kini banyak yang berasal ari warga kampung sekitar klenteng dari warga kampung baru sekitar klenteng yang tertarik dan diajari Mudjiono hingga mahir. Mereka mula-mula menjadi jijio atau pembantu dalang. Selain diminati pemuda, kesenian yang sejak era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) kian berkembang ini makin dikenal. Wayang potehi yang juga disebut wayang titi, sudah ada di Indonesia sejak 300 tahun lalu di setiap klenteng. Wayang berbahan baku kayu waru yang menceritakan sejarah Tiongkok, kerajaan, pahlawan, dan para dewa Tiongkok itu dipentaskan bergantian oleh Mudjiono dan kawan-kawannya. Boneka yang dimainkan bermacam-macam. Sebagian asli dari Tiongkok, buatan Tulung-agung, dan juga yang dibuat salh satu kru Lima Merpati. Pakem pertunjukan menggunakan bahasa Tionghoa. Namun, dalam perkembangannya, Mudijiono dan kawan-kawan menggunakan bahasa gado-gado dan cenderung dominan memakai bahasa Indonesia. Ada 20 cerita utama dimana satu judul cerita tidak bisa selesai dalam sekali pentas yang berdurasi dua jam. Satu cerita baru habis dipentaskan 1-2 bulan.