Pada kasus korupsi, keinginan klien (tersangka/terdakwa) untuk lolos dari jerat hukum umumnya mendominasi keputusan atau tindakan pengacara. Bahkan, upaya merekayasa sebuah peristiwa dilakukan supaya klien lolos dari jeratan hukum. Peradaban klien yang menyimpang (devian) akhirnya merusak moral pengacara dengan uang. Apalagi kalau klien mewakili kelompok tertentu (tokoh). Namun, ada juga pola bahwa moralitas pengacara yang cinta uang (materialistik) terbiasa mengajari klien berbuat rekayasa perlawanan hukum dalam menghadapi aparat. Terlebih jika klien berduit banyak dan royal membayar berapa pun untuk memenangkan kasusnya, pengacara makin terbiasa menikmati pola profesi yang devian dalam melayani setiap keliennya. Padahal, sebagai profesi mulia, pengacara seharusnya memiliki kesadaran moral yang tinggi bahwa merusak konsep hukum demi memenangkan perkara merupakan tindakan perusak diri dan masa depan peradaban hukum. Keputusan menyuap merupakan bukti runtuhnya landasan moral dari pengacara. Sebagai masyarakat profesional yang bergelut di dunia hukum, pengacara justru diharapkan mampu memengaruhi, bahkan mengubah pola pikir klien ke arah penyelesaian perkara yang beradab, bukan malah terjerumus kenista suap.