Terpenjara luka lama: menghalau galaunya pendidikan kita
Maryanto, Herman JP.Toruan, Rayendra L.
PT Elex Media Komputindo (Jakarta, 2015) (ind) Indonesian9786020266633UnknownUnknownTEACHERS; Unknown“Pemerkosa” kepada anak-anak selalu saja terjadi yang dilakukan oleh orangtua di rumah dan guru-guru di sekolah. Guru dan/atau orangtua merasa lebih tahu banyak akan kebutuhan anak-anaknya untuk hidup lebih baik masa depan. Hak-hak anak untuk tumbuh “diperkosa” dengan dalih memberikan pendidikan yang terbaik. Akibatnya, keautentikan, keunikan, dan keistimewaan serta potensi anak terkubur bersama keinginan orangtua atau guru. Anak sejatinya adalah sebuah keajaiban yang tak berulang. Setiap mereka hanya ada satu di muka bumi. Masing-masing memiliki potensinya sendiri. Mereka akan tumbuh dan berkembang menjadi dirinya sendiri. Tiada guru atau orangtua mana pun dapat memaksakan anak-anaknya menjadi seperti yang mereka kehendaki. Mendidik tidak berarti menjadikan anak-anak seperti apa yang guru dan/atau orangtua kehendaki. Bukan pula menyiapkan generasi demi kepentingan “produksi” sebuah industri di masa depan nanti. Mendidik adalah kegiatan mendapingi, menstimulasi, dan memfasilitasi untuk mengaktualisasi potensi diri anak agar tumbuh manusia (humanisasi) dan mempribadi (personalisasi). Segala macam bentuk kegiatan guru atau orangtua yang bersifat memaksa hanya akan mengerdilkan potensi anak. Itu adalah bentuk “pemerkosaan”, praktik pendidikan anak yang salah. “Anakmu bukanlah milikmu,” demikian kata Khalil Gibran. Jangan “perkosa” mereka hanya demi keinginan atau kepentingan-kepentingan tertentu (dari orangtua dan guru).